Translate

Minggu, 02 Maret 2014

SERANGAN JEPANG KE CILACAP 1942


Ilustrasi serangan Jepang di Selat Nusakambangan

Pada tanggal 5 Maret 1942 Jepang menyerang kapal-kapal Sekutu yang melarikan diri dari Cilacap atau Tjilatjap. Sebelum Jepang menyerbu Asia, persiapan telah dilakukan setidaknya 10 tahun sebelumnya. Banyak pedagang-pedagang Jepang yang datang ke Hindia Belanda sebagai penjual bermacam-macam barang kelontong, hasil bumi, dan berbagai pekerjaan sebagai penyamaran. Tugas yang sebenarnya adalah menyebarkan pengaruh nagaranya kepada penggiat kemerdekaan bangsa-bangsa Asia yang terjajah agar membantunya, termasuk bangsa terjajah Hindia Belanda. "Asia untuk Bangsa Asia", "Bangsa Jepang adalah Saudara Tua bagi Bangsa Asia" dan lain sebagainya adalah slogan yang sering didengungkan. Pedagang-pedagang itu adalah intel sosial-ekonomi-politik.


            Kontra intelijen Belanda IVG (Inlichtingen en Veiligheidsgroup) tidak mendapati bukti-bukti yang berbahaya dari kegiatan para pedagang tersebut. Beberapa tahun kemudian waktu tentara Jepang mendarat di Hindia Belanda barulah hasil karya mereka itu tampak: Tentara Jepang dielu-elukan seperti layaknya tentara pembebas dari penjajahan. Beberapa tahun kemudian menyerbulah intel militer yang tugasnya berbeda dengan intel sosial-ekonomi-politik.
Setahun menjelang penyerbuan Jepang intel militer di Cilacap mendapat kiriman radio pemancar dan penerima jinjing yang diselundupkan sebagai suku cadang yang terpisah-pisah. dan dikirimkan melalui cara estafet dan rahasia.
Sementara itu denah pandangan udara Selat Nusakambangan dan pelabuhan Cilacap telah diketahui oleh penerbang-penerbang AL Jepang. Para penerbang Jepang tahu bahwa kapal-kapal Sekutu yang akan melarikan diri dari Cilacap membawa pejabat sipil dan militer Belanda dan ABDACOM (America-British-Dutch-Australia Command) akan harus berlayar ke arah timur dari selat yang amat sempit. Pesawat dengan jangkauan terbang 1800 km dengan kecepatan 400 km/jam yang merupakan kekuatan utama Jepang dalam menyerang Pearl Harbor pada Desember 1941 telah disiapkan. Pesawat buatan Mitsubishi Aichi D3A1 yang oleh Sekutu dijuluki Val dapat menyerang Cilacap dalam waktu 1/2 jam sejak perintah dikeluarkan.
ABDACOM telah menberi tahu para kapten kapal agar bila kapal mendapat kerusakan harus diusahakan menepi kearah pantai Cilacap agar mudah mendapat pertolongan dan agar selat yang sempit itu tidak terganggu oleh kapal yang rusak.
Dengan demikian pengungsian berikutnya dapat terus dijalankan.

Ilustrasi kapal Sekutu yang rusak akibat serangan Jepang

Pada bulan Februari 1942, kota yang biasanya sangat sepi itu kedatangan para pejabat sipil dan militer dari ABDACOM yang merencanakan akan mengungsi. Para atasan menginap di Hotel Bellevue (sekarang Hotel Wijaya Kusuma) sedang bawahan di gedung-gedung sekolah, gereja dan bangunan besar lainnya serta tenda-tenda dilapangan. Pada tanggal 4 dan 5 Maret 1942 di pelabuhan Cilacap diberangkankan konvoi kapal-kapal pengangkut pengungsi dan bala tentara ABDACOM yang dikawal oleh kapal perang. Intel militer Jepang segera mengabarkan kepada kontak mereka melalui radio pemancar. Setengah jam kemudian 20 pesawat pembom penerjun (dive bombers) berawak dua dalam formasi tiga-tiga menyerang konvoi itu. Nelayan Cilacap yang pulang dari melaut terkejut, ketakutan dan takjub menyaksikan dan mendengar ledakan-ledakan terpedo mengenai kapal-kapal Sekutu. Nelayan Cilacap merasakan seakan berada ditengah pertempuran antara dua makhluk angkasa luar yang persenjataannya diluar jangkauan manusia pribumi Hindia Belanda (Gambar 1, cat air oleh S. Angudi). Tak lama kemudian pelabuhan Cilacap di bom oleh pembom tinggi (high altitude bombers) Mitshbishi G3M yang oleh Sekutu dinamai Nell yaitu jenis pesawat yang telah menenggelamkan HMS Prince of Wales dan HMS Repulse.


Tiga hari kemudian pemerintah Hindia Belamda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Allah S.W.T. mengatur kebangkitan dan kehancuran di antara bangsa-bangsa manusia. Tanda-tanda awal bangkrutnya penjajahan Belanda di Indonesia mulai samar-samar nampak. Para anggota gerakan nasionalis berpikir bagaimana menindak lanjuti keadaan itu. Sepuluh tahun kemudian ketika saya ke Kali Yasa untuk mengail, bangkai-bangkai kapal perang dan kapal penumpang Sekutu masih berserakan di Selat Nusakambangan
(Gambar 2, cat air oleh S. Angudi).***

Sumber : Riwayat Perang di Jawa/ Sardjono Angudi (jongki.angudi@gmail.com)