Translate

Kamis, 04 Juni 2015

KRI TELUK PENYU (513)

  Tahukah anda, ternyata "Teluk Penyu" sudah lama diabadikan menjadi nama salah satu kapal perang Republik Indonesia ?    
          


             Kapal Republik Indonesia (KRI) Teluk Penyu  adalah kapal perang TNI AL bernomor lambung 513, yang merupakan jenis kapal pendarat atau LST (Landing Ship Tank) kelas Tacoma. Nama kapal ini berasal dari nama teluk yang berada di Kabupaten Cilacap yaitu "Teluk Penyu". Sebuah kebanggan tersendiri bagi warga Kabupaten Cilacap karena nama Teluk Penyu diabadikan menjadi nama salah satu kapal perang Republik Indonesia. KRI Teluk Penyu (513) ini dibangun oleh perusahaan Korea-Tacoma SY, MasanKorea Selatan pada tahun 1981

                   Kapal lain dalam kelas yang sama adalah KRI Teluk Semangka (512), KRI Teluk Mandar (514), KRI Teluk Sampit (515), KRI Teluk Banten (516), dan KRI Teluk Ende (517). KRI Teluk Penyu mempunyai 117 orang awak kapal termasuk perwira. KRI Teluk Penyu dilengkapi oleh pengangkut tentara dan mampu membawa 202 tentara infantri.

                     KRI Teluk Penyu mempunyai panjang 100 m X 15.4 X 4.2m (328 X 50.5 X 13.7 kaki) dan berbobot 3,770 ton. Dalam gelar operasinya, kapal buatan Korea Selatan ini mampu membawa muatan sebanyak 1,800 kargo atau seberat 690 ton, dan bisa memuat 17 tank setingkat MBT (main battle tank) untuk misi pendaratan. Sudah jadi langganan dalam gelar operasi amfibi, jenis LST ini membawa tank PT-76 dan panser amfibi BTR-50P Korps Marinir.KRI Teluk Penyu juga memiliki dek helikopter pada bagian belakang untuk operasi udara dan mempunyai dua mesin diesel yang disambungkan pada dua motor yang menghasilkan daya 5,600 HP dengan kecepatan tempur 15 knot. Persenjataan : 3 meriam 40 mm, 2 senjata mesin 20 mm & 2 senjata mesin 12,7 mm.

GALERI FOTO KRI TELUK PENYU (513)










                                                                          






PEMBERONTAKAN PETA DI CILACAP

Tentara PETA (Pembela Tanah Air)

Kedatangan Jepang ke Indonesia membawa semboyan yang simpatik yaitu membebaskan bangsa Asia dari penjajahan bangsa-bangsa barat, tetapi beberapa saat setelah kedatangannya sudah dapat dirasakan bahwa segala semboyan itu hanya omong kosong belaka. Mereka dirasakan mulai menindas rakyat Indonesia. Tata kehidupan rakyat beserta berbagai norma tidak dihormati bahkan diinjak-injak. Tindakan itu akhirnya menimbulkan berbagai perlawanan rakyat yang akhirnya memuncak pada pemberontakan bersenjata.

Pemberontakan bersenjata terjadi di beberapa daerah yaitu pemberontakan di Aceh, Pemberotakan PETA di Blitar, dan Perlawanan di Singaparna Jawa Barat. Selain pemberontakan bersenjata di daerah-daerah tersebut Pemberontakan PETA juga berlangsung di Cilacap, Jawa Tengah pada tanggal 20-25 april 1945. Pemberontakan dilakukan oleh para bundancho (komandan regu) dan giyuhei (prajurit) dari sebuah kompi PETA yang berkedudukan di desa Gumilir Cilacap. Pemimpin pemberontakan adalah seorang Heiki Bundancho (komandan regu bagian peralatan dan persenjataan) bernama Kusaeri.

Sebagai upaya menyusun kekuatan, Kusaeri melakukan penggalangan kekuatan ke dalam dan ke luar. Ke dalam, Ia berusaha mendekati teman-temannya sesama bundancho, seperti : Sarjono, Sarjono K., Darman, Sukir, Jemiran, Mardiono, Marsan, Masirun, Anwari, Suwab, Sangin, Suparno, Udi, dan Wiryosukarto. Ke luar, Ia berhasil menghimpun dukungan dari Syudancho Sudarwo, Shikihancho Achmadi, dan Keiri Bundancho Subagyo, yang berasal dari markas batalyon PETA Cilacap.
Pada malam hari tanggal 20 April 1945, setelah berhasil menaklukan petugas piket dan mengembil seluruh persenjataan di gudang, Kusaeri dan teman-temannya berangkat dari markas kompi menuju sasaran penyerangan yaitu sebuah markas Keibitai (penjagaan pantai) yang terletak di  sekitar Bukit Srandil. Targetnya, setelah markas tersebut dikuasai, Kusaeri bermaksud mengajak batalyon PETA Kroya yang dipimpin Daidancho Sudirman (kemudian jadi Panglima Besar TKR) untuk bergabung dan melakukan pemberontakan yang lebih besar.
Daidancho Sudirman

            Namun karena rencana telah bocor, sebelum para pemberontak mencapai sasaran, pasukan Jepang telah menghadang di daerah Adipala. Terjadilah pertempuran sengit antara kedua belah pihak. Para pemberontak tercerai berai dan kemudian berhasil ditangkap setelah beberapa hari bersembunyi. Akhirnya, Kusaeri dan 18 orang pemberontak lainnya dibawa ke Jakarta untuk diajukan ke pengadilan militer.

Anggota PETA diadili di pengadilan militer Jakarta



Sumber : 
Buku IPS Terpadu 

MENELUSURI SEJARAH KAMPUNG LAUT



Kampung Laut adalah sebutan untuk seluruh pemukiman yang berada di Segara Anakan, yaitu kawasan perairan yang terletak di antara daratan Cilacap sebelah Barat dengan Pulau Nusakambangan.

Sejarah dan Pola Pemukiman

Menurut cerita rakyat yang sampai sekarang masih dipercaya kebenarannya oleh masyarakat setempat. Penduduk asli Kampung Laut adalah anak keturunan dari para prajurit Mataram. Para prajurit Mataram pada waktu itu datang ke daerah Kampung Laut untuk mengamankan daerah perairan Segara Anakan dari gangguan bajak laut orang Portugis. Para prajurit itu dipimpin oleh empat orang wiratamtama, yaitu yang bernama Jaga Playa, Jaga Praya, Jaga Resmi dan Jaga Laut. Berkat kesaktian dari para wiratamtama itu maka perairan Cilacap dan Segara Anakan akhirnya aman, bebas dari gangguan bajak laut.

Setelah keadaan aman, ternyata para wiratamtama dan anak buahnya itu tidak mau kembali ke pusat kerajaan Mataram, melainkan tetap tinggal di kawasan Cilacap dan sekitarnya misalnya Jaga Playa dan Jaga Praya kemudian bermukim di daerah yang sekarang disebut Klapalima, sementara itu Jaga Resmi dan Jaga Laut memilih tinggal di Pulau Nusakambangan. Jaga Resmi bermukim di daerah yang kini disebut Legok Pari, sedangkan Jaga Laut bertempat tinggal di Gebang Kuning atau yang sekarang lebih dikenal dengan nama Kembang Kuning.

Ketika supremasi Kerajaan Mataram makin melemah dan akhirnya dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda, banyak daerah yang tadinya merupakan daerah kekuasaan Mataram, beralih menjadi kekuasaan Hindia Belanda. Demikian Cilacap dan Nusakambangan waktu itu juga di bawah kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda dipilih untuk pembuangan orang-orang yang dianggap melanggar hukum dan kekuasaan pemerintah Hindia Belanda.

Para narapidana yang ada di Nusakambangan waktu itu belum diurus dengan baik oleh pemerintah Hindia Belanda, sehingga tidak sedikit dari mereka yang mengganggu penghuni-penghuni Pulau Nusakambangan sebelumnya, yaitu anak-anak keturunan Jaga resmi dan Jaga Laut dan anak buahnya. Karena itu mereka lalu menyingkir dari Pulau Nusakambangan, dan membuat rumah-rumah tempat tinggal mereka di laut Segara Anakan. Di Segara Anakan ini kemudian berdiri kelompok-kelompok pemukiman yang berupa kumpulan rumah tinggal, rumah tinggal yang berujud rumah panggung. Sejalan dengan perkembangan jaman, masing-masing kelompok perumahan itu makin berkembang, sehingga akhirnya membentuk sesuatu kampung. Kampung-kampung seperti itu tersebar di kawasan Segara Anakan. Karena kampung-kampung itu berada di perairan laut ( Segara Anakan ), maka kemudian disebut Kampung Laut. Nama lain dari Kampung Laut adalah Bejagan atau Pejagan. Nama ini juga terkait dengan cerita diatas, bahwa Segara Anakan adalah tempat para prajurit kerajaan Mataram melakukan penjagaan agar daerah ini aman, bebas dari gangguan para bajk laut.

Pada masa kemerdekaan, beberapa perkampungan yang saling berdekatan bergabung menjadi suatu kelurahan atau desa. Secara administratif Kampung Laut sekarang terbagi menjadi tiga wilayah desa, yaitu Ujungalang, yang terletak di Selatan, Ujunggagak atau Karanganyar disebelah barat dan Panikel yang berada di Sebelah Utara.

Hingga tahun 1970 an sampai awal tahun 1980 an rumah-rumah tempat tinggal di Kampung Laut masih berupa rumah panggung. Rumah-rumah itu wujudnya seperti rumah-rumah Jawa pada umumnya, yaitu berbentuk segi empat dengan atap model Kampung Srotong atau Limasan, dibangun di atas tiang-tiang kayu tancang. Tinggi tiang-tiang penopang ini berkisar antara 4 hingga 7 meter, yang ditancapkan ke dasar laut pada waktu air surut. Kerangka rumah umumnya terbuat dari kayu tancang, yang waktu itu mudah didapat di hutan-hutan bakau. Ada juga yang menggunakan balok atau papan kayu laban atau jenis kayu yang lain yang dapat diperoleh dari Nusakambangan. Lantai dan kerangka atap (kaso dan reng) umumnya juga dari kayu tancang, yang berukuran kecil dan lurus-lurus. Dinding rumah cukup bervariasi. Ada yang terbuat dari papan kayu atau gebyok, ada yang terbuat dari bamboo yang dianyam, atau ada pula yang berupa welit atau kajang, yaitu anyaman daun nipah. Atap umumnya berupa welit daun nipah atau seng. Atap genteng tidak disukai karena berat. Pola letak perumahan umumnya berderet memanjang. Bila ada dua deret, maka rumah-rumah yang ada di deret yang satu, akan dibangun menghadap pada deret yang lain, dan diantara dua deret rumah itu ada jalur jalan seperti jembatan, yang juga terbuat dari kayu. Suatu kampung dapat terdiri dari 4 deret rumah atau lebih.

Menjelang tahun 1980-an rumah-rumah panggung seperti tersebut di atas makin menghilang. Penyebabnya, kecuali orang makin sulit mendapatkan kayu tancang atau kayu-kayu jenis lain yang dipandang baik untuk bangunan rumah, juga makin cepatnya laju pendangkalan laut sebagai akibat dari sedimentasi Lumpur yang setiap saat ditumpukkan oleh sunga0sungai yang ada di sebelah Utara Segara Anakan. Menghadapi situasi yang demikian itu, ada orang yang tidak mengganti tiang-tiang penopang rumahnya yang rusak dengan kayu, emalinkan kemudian meguruk kolong rumah panggungnya dengan tanah yang diambil dari Nusakambangan atau memanfaatkan tanah timbul. Sedikit demi sedikit, kolong rumah yang tadinya berupa ruangan yang berair, makin terisi dengan tanah. Akhirnya seluruh kolong rumah terisi dengan tanah. Keberhasilan menguruk kolong-kolong rumah itu kemudian ditiru oleh seluruh warga kampung. Bahkan kolong-kolong jembatan yang untuk jalan, secara gotong royong juga diurug, sehingga akhirnya seluruh areal tempat pemukiman itu menjadi daratan. Dewasa ini sudah sulit untuk mendapatkan rumah panggung yang berdiri di atas air laut.

Bentuk atau model bangunan rumahpun banyak yang berubah, berganti dengan bentuk atau model rumah-rumah modern sebagaimana yang terdapat di kota-kota. Bahan-bahan bangunan rumah tidak lagi didominasi oleh bahan kayu. Bahan kayu umumnya hanya untuk kerangka atap dan kusen-kusen. Lantai yang dulu kayu sekarang telah diganti dengan semen atau keramik. Demikian pula dindingnya. Atap yang dulu berupa seng atau welit, sekarang umumnya berupa genteng dari tanah liat.

Walaupun dalam bentuk dan bahan bangunan rumah telah banyak mengalami perubahan, tetapi dalam pola tata letak perumahan, terutama di pemukiman-pemukiman yang penghuninya yang bermata pencaharian  sebagai nelayan, masih banyak yang mengikuti pola lama. Seperti telah disebutkan diatas, pola tata letak perumahan model lama adalah pola berderet. Dalam satu deret rumah-rumah menghadap kea rah yang sama. Dihadapan rumah-rumah itu ada jalan umum. Jalan ini juga akan menajdi patokan untuk menghadapkan rumah-rumah yang berada di deret di hadapannya, sehingga terbentuk pola tata letak perumahan dua deret dimana tengahnya terbentang jalur jalan umum.

Untuk kepentingan kemudahan tranportasi air, dibelakang rumah-rumah yang berderet itu dibuat saluran air atau parit yang menghubungkan pemukiman itu ke laut. Dermaga-dermaga kecil terletak dibelakang rumah-rumah tinggal. Jadi kalau jalan darat berada di antara dua deret rumah yang saling membelakang (Ungkur-ungkuran, red : Bahasa Jawa ).


Kondisi Geografis dan Ekologis

Secara geografis posisi Kampung Laut atau Segara Anakan berada di sebelah Barat Kota Cilacap. Untuk menuju ke daerah itu kita dapat menggunakan perahu motor atau compreng, angkutan umum dari pelabuhan Sleko Cilacap. Untuk sampai di desa terdekat, yaitu Ujungalang, memakan waktu sekitar satu hingga dua jam.

Segara Anakan itu sendiri adalah suatu laguna yang dalam hubungannya dengan Samudera Hindia dipisahkan oleh pulau Nusakambangan. Akibat dari adanya Pulau Nusakambangan itu maka, keganasan ombak Samudera Hindia menjadi terhalang, sehingga keadaan perairan di Segara Anakan relatif tenang. Air laut Samudera Hindia masuk ke laguna ini melalui plawangan atau pintu selat Nusakambangan baik yang ada di ujung Timur maupun di ujung Barat. Di Segara Anakan, air laut Samudera Hindia itu bertemu dengan air tawar yang ditumpahkan oleh sungai-sungai yang mengalir dari daratan tinggi disebelah Utara, misalnya sungai Citandui, sungai Cibeureum, sungai Cikonde, sungai Cemeneng, dan lain-lain.

Sungai-sungai tersebut, kecuali memasok air tawar, juga terlebih pada waktu musim penghujan menumpahkan Lumpur-lumpur hasil erosi tanah daratan, ke Segara Anakan. Akibatnya, Segara Anakan makin hari makin bertambah dangkal. Di sana-sini kemudian muncul tanah timbul atau mud island. Ditanah timbul itu kemudian tumbuh tumbuhan dari jenis-jenis Mangrove. Kalau dulu sebelum tahun 1970-an desa Panikel yang berada di ujung Utara orang memandang ke Selatan, akan melihat secara jelas hutan di pulau Nusakambangan. Dari desa Panikel orang juga dapat melihat desa-desa lain seperti Muara Dua, Karanganyar, Majingklak, dan lain-lain. Tetapi sekarang tidak lagi dapat dilihat, karena pemandangan telah terhalang oleh hutan-hutan mangrove yang tumbuh di areal-arela tanah timbul.

Tanah timbul adalah daratan baru yang terbentuk karena tingginya laju sedimentasi di Segara Anakan. Setiap saat, lebih-lebih pada musim penghujan, sungai-sungai yang bermuara di Segara Anakan selalu mengangkut Lumpur dari hasil erosi di daratan di sebelah Utara. Akibatnya, perairan Segara Anakan makin dangkal dan beberapa tempat dangkalan ini berubah menjadi daratan. Disinilah kemudian timbul hutan-hutan Mangrove.

       
Hutan Mangrove di Segara Anakan tergolong mempunyai diversitas vegetasi yang tinggi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti dari Pusat Studi Asia Pasifik (PSAP) UGM tahun 2001 – 2002, menunjukan bahwa di suatu kawasan hutan Mangrove di Segara Anakan, dapat ditemukan sekitar 30 spesies tumbuhan. Beberapa tumbuhan yang terdapat di hutan Mangrove di wilayah ini antara lain adal api-api (jenis avicenia yaitu : Avicenia Alba, Avecinia Marina, dan Avecenia Oficenalis), Bogem (Sconneratia Alba), bakau (ada dua macam yaitu Rizophora, Mucronata dan Rozophora Apiculata), tancang (Bruguirea sp), Nyirih (Xylocarpus Granatum), Nyuruh (Carberaodolam), nipah (Nypa Fructicans) dan lain-lain.

Disamping itu juga masih termasuk tumbuh-tumbuhan Mangrove adalah jenis-jenis perdu seperti jrajon (Acanthus Ilicifolius), jrujon lanang (Acanthus Sp), krakas (Scripus Aurium), prepatan (Scripus Grossus), gadelan (Derris Heterophylla), wlingi (Fimbristttylis Feruginea) dan lain-lain. Sebagai ekosistem pasang surut, ekosistem hutan Mangrove akan didominasi air laut ketika air pasang, dan ketika air surut yang dominant adalah air tawar. Dengan demikian, komoditas hutan Mangrove mempunyai toleransi yang lebar terhadap perubahan salinitas.

Hutan Mangrove di Segara Anakan merupakan habitat dari berbagai satwa liar. Kalau kita berlayar dengan menggunakan jakung (perahu kecil) atau compreng (perahu yang berukuran lebih besar yang dapat mengangkut belasan orang penumpang) menyusuri kanal-kanal di sela-sela hutan Mangrove yang oleh masyarakat setempat disebut kali atau lorongan. Ditempat itu kita sering berjumpa dengan berbagai satwa liar. Monyet-monyet yang bergelantungan dipohon bogem atau api-api, lingsang yang dengan lincahnya menyelam dan mengapung dia ir tepian kanal, atau berbagai jenis burung seperti bangau, kunthul, cikakak, supiturang yang berbulu indah dan lain-lain dapat kita temui.

Sementara itu, perairan yang ada dibawah hutan Mangrove dapat dikatakan merupakan ekosistem yang kaya akan berbagai jenis plangton dan komonitas benthik yang produktifitas hasil laut yang tinggi. Jenis-jenis pohon tertentu di hutan Mnagrove (misalnya pohon bakau) dengan bentuk akarnya yang khas dapat berfungsi sebagai rumpon yang merupakan tempat yang cocok untuk pemisahan satwa liar. Oleh sebab itulah oleh para ahli biologi perairan Segara Anakan dapat dikatakan sebagai daerah asuhan (nursery ground) misalnya untuk berbagai jenis ikan, udang dan kepiting. Segara Anakan yang mempunyai dua plawangan (pintu)yaitu plawawangan timur dan plawangan barat di kedua ujung Pulau Nusakambangan, membuat kawasan ini mempunyai hubungan perairan yang langsung dengan Samudera Hindia. Pada waktu yang lalu, saat kedalaman perairan Segara Anakan dan plawangan-plawangannya masih cukup dalam, ikan-ikan pengembara (migratory species) dari berbagai lautan, banyak yang singgah di Segara Anakan. Mereka bersama-sama ikan-ikan lokal yang lain dapat memperoleh makanan di Segara Anakan.

Sumber


CERITA TENTANG KERAJAAN NUSATEMBINI


Cerita sejarah tentang Kerajaan Nusatembini mengambil setting di wilayah sekitar Pulau Nusakambangan. Nusatembini diceritakan sebagai sebuah Kerajaan Siluman yang cukup besar. Kerajaan ini memiliki wilayah di sekitar pantai Cilacap hingga pulau Nusakambangan. Keraaan ini memiliki benteng alamiah berupa tanamana bambu hingga  tujuh lapis (Baluwarti pring ori pitung sap). Penggambaran benteng alamiah dari pagar bambu lapis tujuh itu dapat ditafsirkan bahwa si pembuat cerita hendak mengatakan bahwa pertahanan kerajaan Nusatembini terebut cukup kuat. Selain itu juga menunjukkan bahwa tanaman Bambu Ori merupakan tanaman yang biasa digunakan sebagai pagar atau pengamanan bagi masyarakat Cilacap terhadap gangguan keamanan.

            Kerajaan Nusatembini dipimpin oleh seorang penguasa  wanita (raja putri) berparas cantik bernama Brantarara. Kecantikan sang putri menarik perhatian para penguasa dari kerajaan lain untuk menjalin kerjasama hingga mempersuntingnya sebagai permaisuri. Akan tetapi untuk mempersunting sang putri tidaklah mudah, karena begitu ketatnya penjagaan dan pertahanan. Banyak raja yang gagal hanya sekadar untuk dapat memasuki wilayah istana kerajaan Nusatembini.

            Cerita tentang keberadaan penguasa Kerajaan dari kaum hawa ini sesungguhnya dapat dipandang sebagai simbol tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam hak-hak politik. Dengan demikian pandangan yang mengangap bahwa dalam budaya Jawa kaum wanita dipandang lebih rendah dibandingkan dengan kaum pria tidak terbukti dalam alam pikiran si pembuat cerita sejarah Kerajaan Nusatembini tersebut. Dalam kebudayaan Cilacap ada nilai yang menganggap bahwa wanita juga memiliki kekuatan memerintah, bahkan dalam cerita itu melampaui kemampuan laki-laki.

            Persoalannya adalah kapan sesungguhnya asal cerita Kerajaan Nusatembini ini berasal. Penulis  sejarah dan hari jadi Cilacap versi Pemerintah Cilacap mengatakan bahwa Kerajaan Nusatembini berasal dari zaman pra sejarah. Hal itu katanya dibuktikan dengan adanya peninggalan dua rumpun bambu ori yang merupakan peninggalan benteng Kerajaan Nusatembini. Pada tahun 1970 peninggalan peninggalan yang dipercaya berasal dari masa pra sejarah itu masih ada yang berlokasi di kompleks dermaga Pelabuhan pasir Besi, akan tetapi pada sat ini peninggalan itu sudah hilang.

            Menurut hemat kami, cerita tentang Kerajaan Nusatembini memang bukan mengambil zaman Islam, tetapi juga bukan pada masa pra sejarah. Zaman pra sejarah tidak dikenal konsep kerajaan, yang ada hanya Primus Interpares, dan umumnya laki-laki tertua. Konsep kerajaan baru muncul pada masuknya kebudayaan Hindu dan Budha di Indonesia. Dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa latar belakang sejarah Kerajaan Nusatembini sesungguhnya adalah masa Hindu dan Budha di wilayah Cilacap.

            Tafsir bahwa latar belakang cerita tentang Kerajaan Nusatembini Nusatembini adalah Hindu Budha didukung dengan cerita lain yang terkait dengan kerajaan tersebut. Cerita rakyat dalam masyarakat Cilacap menceritakan bahwa di sebelah barat dari Kerajaan Nusatembini adalah Kerajaan Galuh Pakuan Pajajaran. Dalam catatan sejarah, kerajaan ini merupakan salah satu kerajaan Hindu yang amat berkuasa di wilayah tatar Sunda. Oleh karena Kerajaan Nusatembini sezaman dengan Kerajaan Galuh, maka dapat dipastikan bahwa cerita tentnag adanya Kerajaan Nusatembini berasal dari zaman perkembangan Hindu dan Budha.

            Kerajaan Galuh Pakuan Pajajaran merupakan kerajaan besar. Berbeda dengan Nusatembini, penguasa Pakuan Pajajaran adalah seorang pria yang gagah berani. Pada masa pemerintahannya ia dicobai Tuhan dengan berkembangnya wabah penyakit yang menyerang rakyatnya. Akan tetapi rakyatnya menjadi sangat menderita karena banyak di antara mereka yang harus kehilangan anggota keluarga akibat ganasnya wabah penyakit tersebut. Raja Pajajaran ini berusaha mencari cara untuk memecahkan masalah yang sedang melanda negerinya. Segala usaha telah dilakukan untuk mengatasi wabah tersebut, tetapi sia-sia. Raja Merasa sedih melihat penderitaan yang menimpa rakyat di seluruh negerinya, dan semakin sedih lagi ketika putra dan putrinya juga terserang penyakit.

            Ketika raja sudah hampir putus asa dalam mengatasi wabah penyakit yang melanda negerinya, datanglah seorang pendeta (wiku). Pendeta tersebut menyampaikan maksud kedatangannya hingga terjadi dialog seperti kutipan berikut :
Pendeta               : ”Gusti Prabu junjungan hamba, ampunilah hamba ini akan segala kelancangan hamba menghadap Gusti tanpa panggilan dan dengan segala kemurahan Gusti Prabu, kami mohonkan maaf atas segala kesalahan ini”.
Raja                      :     ”Teramat gembira rasanya aku melihat kedatangan wiku saat ini sebab memang ada sesuatu yang kini tengah merisaukan pikiranku  sebagai pimpinan pemerintahan di Kerajaan Pajajaran ini”.

Pendeta               :     ”Gusti Prabu Junjungan hamba, rasanya hamba memaklumi apa yang tengah Gusti hadapi pada saat ini karena adanya wabah penyakit yang menimpa para kawula Pajajaran. Sampai pula Tuanku Putri saat ini terserang wabah penyakit itu”.
Raja                      :     ”Rasanya memang demikian wikut, bahwa kerisauanku dan kecemasanku masih amat mencekam. Tetapi apakah kiranya bapa wiku dapat memberikan jalan keluar untuk mengatasi kesemuanya ini?”
Pendeta               :     ””Gusti Prabu Junjungan hamba, kedatangan hamba ini bermaksud untuk menyampaikan adanya ”wisik” atau ilham yang telah hamba terima. Bahwasanya apa yang terjadi saat ini di lingkungan Kerajaan Pajajaran serta penyakit yang diderita oleh Tuanku Putri junjungan hamba, masih dapat disembuhkan dengan obat apa yang disebut ”Air Mata Kuda Sembrani”. Adapun obat itu hanya dapat diusahakan dari bagian timur Kerajaan Pajajaran ini. Di arah timur sanalah ada sebuah keratorn yang disebut Nusatembini dan disitulah obat obat tersebut akan didapatkan. Tetapi untuk mencapai daerah itu serta mendapatkannya tidak mudah, sebab  lingkungan Kraton Nusatembini adalah sangat gawat. Maka seyogyanya Gusti Prabu Junjungan hamba mengutus para abdi dalem Pajajaran yang terpilih untuk menghadapi ratu putri yang memimpin keraton tersebut.
                                    Haturkanlah segala maksud Gusti untuk memohon apa yang disebut ”Air Mata Kuda Sembrani” yang menjadi peliharaan sang ratu. Apabila usaha mendapatkan airmata Kuda Sembrani itu berhasil, maka hal itu akan menjadi obat serta tumbalnya (Penolak) Kerajaan Galuh Pajajaran dari segala mara bahaya yang bakal datang.
Raja Pajajaran merspon positif saran-saran dari sang wiku tersebut.  Raja tersebut kemudian  mempersiapkan diri untu kmenuju Nusatembini. Beberapa orang adipati yang berada di bawah kekuasan Pajajaran yang dianggap mampu ditugasi menuju kerajaan siluman diutus sang raja menuju Nusatembini. Petinggi utusan jatuh pada Patih  Harya Tilandanu yang dibantu oleh Adipati Gobog dan Adipati Sendang. Mereka mengerahkan prajurit pilihan agar segala rintangan di perjalanan dapat diatasi.

            Setelah persiapan untuk berangkat menuju Kerajaan Nusatembini selesai, maka rombongan prajurit dari Pajajaran tersebut berangkat menuju kerajaan siluman di pantai selatan Cilacap tersebut. Meskipun berasal dari prajurit pilihan, perjalanan menuju Nusatembini ternyata tidak mudah. Mereka harus melewati alam yang masih ganas berupa  hutan belantara dan rawa-rawa yang membentang luas. Dalam situasi alam yang demikian pra prajurit Pajajaran dengan semnagat yang membara menuju Kerajaan Nusatembini agar memperoleh obat penyakit putri raja ” air mata kuda sembrani”.

            Para prajurit utusan Pajajran tersebut akirnya sampai di wilayah Cilacap. Ketika sampai di wilayah Nusatembini mereka melihat adanya kekeuatan yan mengelilingi kerajaan tersebut yang amat kuat. Para prajurit berusaha memasuki istana kerajaan itu dengan berbagai cara. Akan tetapi kali ini usaha itu gagal karena adanya benteng rumpun bambu yang berlapis-lapis rapat yang mengellingi Kerajaan Nusatembini ibarat seperti pagar berlapis. Usaha untuk memasuki istana Nusatembini berkali-kali dicobanya, dan ternyata selalu gagal.

            Kegagalan berkali-kali untuk memasuki Istana Nusatembini tidak membuat para prajurit Pajajaran putus asa. Dengan semangat membela sang Raja dan negaranya mereka selalu mencari cara untuk dapat memasuki Istana Nusatembini. Adipati Gobong, Adipati Sendang dan Patih Harya Tilandanu jalan lain diluar jalan perang. Mereka bersemedi untuk mendapatkan ilham dan jalan keluar agar dapat memasuki Istana Nusatembini. Setelah beberapa hari bersemedai akhirnya mereka memperoleh petunjuk gaib. Dalam petunjuk gaib itu dikatakan bahwa benteng bambu yang mengelilingi Nusatembini akan dapat dihancurkan denganmenggunakan peluru emas.Setelah mendapatkan ilham tersebut  para prajurit tata sunda utusan raja Pajajaran  tersebut mengubah taktik dalam memasuki Istana Nusatembini.  Mereka membuat peluru emas yang berasal dari uang emas untuk menghancurkan bambu yang mengelilingi keraton dengan raja perempuan tersebut.

            Pembuatan peluru emas dilakukan oleh rombongan prajurit Pajajaran di lokasi yang tidak jauh dari Istana Nusatembini.  Mereka singgah  di suatu daerah di dekat istana tersebut selama berhari-hari. Selain memproduksi peluru emas, mereka juga mengatur siasat untuk melakukan penyerangan. Di daerah tempat persiapan penyerangan ini dikenal dalam cerita rakyat Cilacap sebagai daerah Donan. Satu daerah tempat Andon (bersinggah).

            Setelah rencana penyerangan diatur secara matang, maka pada hari yang telah ditentukan rombongan prajurit Pajajaran  melakukan serangan ke Istana Nusatembini. Serangan dilakukan oleh prajurit tangguh dengan menggunakan peluru emas yang telah dipersiapkan sebelumnya. Peluru-peluru itu ditembakkan dan berjatuhan dekat atau di bawah rumpun bambu yang membentengi Istana Nusatembini. Para penduduk Nusatembini yang melihat peluru emas berjatuhan di bawah pepohonan bambu berusaha mengambil peluru-peluru yang bernilai ekonomi tinggi pada masa itu. Untuk dapat mengambil peluru tersebut mereka harus menebangi pohon bambu yang berlapis-lapis tersebut.

            Prajurit Pajajaran menyadari makna peluru emas ternyata sebagai alat memancing penduduk dalam kerajaan untuk membuka isolasi kerajaan dengan menebang pohon bambu yang menjadi benteng kerajaan. Sedikit demi sedikit akhirnya Prajurit Pajajaran semakin dapat bergerak maju setelah dapat melewati rumpun-rumpun bambu ori yang ditebangi oleh penduduk setempat. Prajurit Pajajaran akhirnya berhasil memasuki dalam istana setelah berhasil melampaui tujuh lapis pagar bambu yang telah habis ditebangi penduduk yang tergiur pada peluru emas yang berjatuhan di bawah pohon bambu.

            Certia tentang adanya peluru emas ini dapat ditafsirkan dua hal yang menyangkut fakta-fakta historis dibalik cerita itu. Pertama, konsep senjata api dalam kisah tersebut menunjukkan bahwa latar belakang cerita itu adalah pada masa Kerajaan Pajajaran akhir menjelang berkembangnya agana Islam di Nusantara, kemungkinan abad ke-15 dan ke-16. Hal itu dapat dijelaskan karena senjata api diperkenalkan oleh orang-orang Portugis dan kemudian Belanda pada abad-abad tersebut. Kedua, kelemahan suatu negara sehebat apapun akan dapat dipatahkan dengan kekayaan. Emas yang merupakan simbol kekayaan yang bernilai ekoomi tinggi telah menggoda rakyat Nusatembini sehingga dengan mudah dapat disusupi oleh pasukan asing.

            Para prajurit Pajajaran akhirnya dapat memasuki Istana Kerajaan Nusatembini. Mereka bermaksud untuk menangkap sang ratu. Akan tetapi mereka mengalami kesulitan, sebab sang ratu memberikan perlawanan. Melihat bahaya yang mengancam, Raja Putri Nusatembini ini kemudian naik kuda sembrani terbang ke angkasa. Dengan suara lantang sang putri menantang para prajurit pendatang terebut, sembari berucap ”Hai prajurit Pajajaran, tunjukkan kesaktian dan kejantananmu, tangkaplah aku. Kalau dapat menangkap diriku, aku akan tunduk, Kerajaan Nusatembini aku serahkan kepadamu.” Melihat keperkasaan sang ratu, pra prajurit Pajajaran menjadi tercengang dan tidak segera melakukan perlawanan.

            Di bagian lain diceritakan bahwa Patih Harya Tilandanu memasuki ruang  dalam istana Nusatembini . Ketika sedang menjelajahi ruang-ruang tersebut, ia menemukan seorang wanita yang snagat cantik. Menurut keyakinan masyarakat setempat, putri terebut adalah Ratu Brantarara, Raja Putri Nusatembini. Sang Patih berusaha untuk mendekati wanita tersebut, tetapi belum sampai berhasil mendekat wanita itu lenyap dari pandangan matanya dan berubah menjadi ”golek kencana” (boneka emas). Sang Patih menjadi gemas dan berusaha untuk memegang golek tersebut, tetapi benda itu melejit dan mengenai tubuh sang patih hingga terjatuh. Boneka itu mengeluarkan warna berkilau yang menyebabkan sang patih mengalami kebutaan. Dengan adanya peristiwa itu, maka usaha utusan Pajajaran untuk mendapatkan air mata Kuda Sembrani sebagai obat penyembuh putri raja mengalami kegagalan. Akan tetapi paa prajurit Pajajaran juga tidak berani kembali pulang ke Pajajaran dengan tangan hampa karena takut ancaman hukuman yang berat akibat kegagalannya.

            Para prajurit Pajajaran kemudian menetap di daerah Nusatembini, termasuk Patih Harya Tilandanu. Bahkan Patih Harya Tilandanu ini meninggal dunia di Cilacap dan dimakamkan di Gunung Batur. Cerita Rakyat Cilacap mengatakan bahwa makamnya di desa Slarang, Kecamatan  Kesugihan, Cilacap. Adipati Gobog juga menjadi penghuni menetap di wilayah Nusatembini. Mereka meninggal di wilayah ini dan dimakamkan di sebuah tempat yang terkenal dengan sebutan makam Adipati Gobog. Lokasi makam itu sebelah selatan jalan Jenderal Sudirman, tidak jauh dengan pasar seleko. Nama Adipati Gobog sempat diabadikan menjadi nama jalan, sebelum berubah menjadi jalan Sudirman. Sementara itu Adipati Sendang, makamnya di Desa Donan.

Sumber :  
  • Buku Pengkajian dan Penulisan Upacara Tradisional di Kabupaten   Cilacap, oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2006
  • http://www.cilacapkab.go.id


Selasa, 30 Desember 2014

Tahukah Anda? Kapal Induk Pertama AS Tenggelam di Laut Cilacap (Tjilatjap)


Pada 18 Oktober 1911, hari ini 102 tahun lalu, konstruksi sebuah kapal besar resmi dimulai di Mare Island Naval Shipyard, Vallejo, California. Dihadiri langsung Presiden Amerika saat itu, William H Taft. 

Tak sampai setahun, pada 14 Agustus 1912, bahtera itu diluncurkan dengan nama USS Jupiter. Jupiter bertugas melengkapi armada Korps Marinir AS pada Perang Dunia I. Mengangkut kargo, batubara, kadang pasukan. Tugasnya dinyatakan berakhir pada 24 Maret 1920. 


Lalu sejarah baru dimulai, Jupiter diubah menjadi kapal induk pertama milik Amerika Serikat di Norfolk, Virginia. Pada 11 April 1920, ia berganti nama menjadi USS Langley, sebagai penghormatan atas jasa Samuel Pierpont Langley -- astronom, fisikawan, pelopor aeronautika, dan insinyur pesawat terbang AS. 


USS Langley mendapat nomor lambung CV-1. Ditugaskan untuk kali pertamanya di bawah komando Kenneth Whiting pada 24 Maret 1920. 




Jangan bandingkan Langley dengan kapal induk AS yang ada saat ini -- yang besar, bobot lebih dari 100 ribu ton kuat, dan ditenagai nuklir. 



Langley hanya memiliki berat 11.500 ton. Misinya saat itu adalah melakukan eksperimen -- bagaimana cara terbaik agar pesawat bisa lepas landas dan mendarat di sebuah bidang terbang terbatas dan yang terus bergerak.

"Langley adalah platform dari mana penerbang Angkatan Laut AS, yang dipandu oleh Kapten Joseph M Reeves, mengembangkan teknik operasi dan teknik yang esensial menentukan kemenangan dalam Perang Dunia II," demikian diungkap Pusat Sejarah Angkatan Laut AS, US Naval Historical Center, seperti Liputan6.com kutip dari CNET, 17 Oktober 2013. 

Langley tidak dibangun dari awal, tapi konversi dari sebuah kapal yang tugasnya sama sekali tak glamor -- mengangkut batu bara dan kargo: USS Jupiter. 


Apapun, Langley adalah sebuah inovasi. "Kapal AL pertama yang didorong oleh oleh motor listrik, merupakan prototipe rekayasa untuk sistem propulsi listrik yang digunakan dalam kapal AL lebih dari dua dekade berikutnya." 


Pada awal 1937, Langley yang teknologinya sudah disalip kapal induk yang lebih besar dan cepat, beralih fungsi menjadi pengangkut pesawat amfibi. 


Tenggelam di `Tjilatjap`


USS Langley berakhir ditempat nan jauh. Di perairan selatan Jawa tepatnya di Cilacap. "Tjilatjap (Cilacap) digunakan sebagai lokasi evakuasi personel tentara Sekutu dan warga negara Belanda," demikian Liputan6.com kutip dari situs Pacific Wrecks. 


Pada tanggal 27 Februari 1942, Sekutu berencana mengirimkan pesawat yang dibutuhkan dalam rangka mempertahankan Jawa dari cengkeraman Jepang. 


Maka, USS Langley ditugaskan mengirim 32 pesawat  P-40 Warhawks, para pilot, kru, dan perlengkapan lainnya. Ia berangkat dari Fremantle, Australia, 22 Februari 1942. Butuh waktu 5 hari baginya untuk tiba di pelabuhan kecil di Cilacap. 



Dini hari itu, 27 Februari 1942, Langley bertemu dengan kapal pendampingnya -- dua kapal perusak anti-kapal selam, USS Whipple dan USS Edsall. 


Beberapa jam kemudian, saat hari sudah terang, kala waktu menunjuk pukul 11.40, Langley yang berada di 121 km selatan Cilacap jadi target serangan 9 pesawat bomber milik Jepang. Serangan pertama gagal, yang kedua meleset. 


Pada serangan ketiga, Langley tak berdaya. Lima ledakan sekaligus menghantamnya. Tak cuma itu, diperkirakan 16 kru yang ada di dalamnya tewas. 


Bagian atas Langley terbakar hebat, kemudi rusak, ruang mesin dibanjiri air laut. Ia tak lagi mampu bergerak dan terjebak. Pukul 13.32 perintah untuk meninggalkan kapal disahkan. Kapal yang mengiringinya lantas menembakkan peluru dan 2 torpedo ke arahnya -- untuk memastikan Langley tak jatuh ke tangan musuh. Ia lalu tenggelam. 



Nasib nahas Langley diikuti 2 kapal lainnya. Awak kapal USS Langley yang dipindah ke USS Pecos hilang saat kapal itu tenggelam di rute menuju Australia. Sementara, 31 dari 33 pilot yang ditugaskan ke Pursuit Squadron Ke-13 hilang bersama USS Endsall saat kapal itu karam -- ketika menjawab panggilan darurat dari Pecos. 


Pada tanggal 8 Maret 1942, Cilacap diduduki oleh Jepang. Dan hari berikutnya giliran seluruh Jawa. 

Upaya Sekutu yang gagal mempertahankan kekuasaan atas Jawa harus dibayar mahal. Dengan nyawa banyak tentara, pelaut, dan pilot. Juga karamnya sejumlah kapal -- terutama Langley yang bersejarah. (Ein)