23 Februari 1980
LAKI-LAKI itu, 48 tahun, bernama Djapar. Karena ia berasal dari Bugis, orang-orang di Cilacap kemudian memanggilnya Djapar Bugis. Bagaimana Djapar kemudian terdampar di Cilacap, cukup berliku-liku riwayatnya. Tahun 1950, Djapar -- tanpa menerangkan apa sebabnya -- telah membunuh seseorang di Makassar (kini Ujungpandang). Karena perbuatannya itu, Djapar harus menjalani masa hukumannya 19 tahun 6 bulan. Cukup banyak rumah penjara yang pernah diinapinya Tanggerang, Glodok, Cipinang (semuanya di Jakarta), kemudian pindah ke penjara Semarang, Ambarawa, Kutoarjo, Magelang, Cilacap dan terakhir di Nusakambangan. Tahun 1969, utang Djapar kepada penjara lunas. Setahun kemudian, ia berhasil bekerja di proyek tambang pasir besi Cilacap sebagai mandor. Proyek selesai, Djapar menjadi nelayan. Sementara itu ia telah menikah dengan Sutinah, kini 27 tahun, dan punya 4 orang anak.
Seperti biasanya, Djapar pergi mencari udang karang di perairan Karangbolong, Nusakambangan. Anaknya yang berusia 7 tahun, Surito selalu menyertai sang ayah. Seperti kebanyakan orang-orang laut di sekitar Sulawesi atau Banda, Djapar adalah juga penyelam alam. Akhir Juli, 1979, ketika ia menyelam di kedalaman 10 - 12 meter ia melihat bongkahan karang yang bentuknya agak aneh. Benda itu cukup berat kalau dibandingkan dengan bongkahan karang biasa. Dari pada pulang dengan tangan kosong, bongkahan itu dibawanya pulang. Beberapa hari, bongkahan itu menghiasi sudut luar rumah pondoknya. Tergeletak begitu saja, tak ada yang menggubris. Syahdan, suatu hari ketika Djapar menganggur, dia teringat akan bongkahan itu. Dibersihkannya. Ketika itu lapisannya terkelupas -- dan ia temukan sebatang logam yang berukuran lebar 10 cm, panjang 40 cm, tebal 10 cm. Lebih menarik lagi, pada salah satu muka batang logam itu ada tulisan G.V.A. Djapar mengira logam itu besi tua biasa. Karena sudah seminggu Djapar tidak mendapat ikan atau udang, dan dapurnya pun nyaris tak berasap lagi, ia keliling kampung menawarkan batangan logam tersebut. Seorang tukang loak -- setelah tawar menawar -- mau membelinya seharga Rp 500. "Lumayan, daripada anak saya nggak makan," ujarnya. Sepuluh hari berikutnya, dia berhasil mendapatkan 8 batang logam yang sama. Dan itu berarti Rp 4.000. Lumayan. Dan nelayan lain pun tertarik. Sekitar Agustus lalu, Djapar tidak lagi memonopoli pencarian batangan logam tersebut. Jadwal Komando Harga logam tersebut juga melonjak luar biasa -- sampai Rp 80.000. Bersamaan dengan naiknya harga emas, September batangan logam bermerek G.V.A jadi Rp 180.000. Terus saja menjulang sampai Rp 225.000, dan harga bulan Februari ini bahkan bisa mencapai Rp 265.000. Masalahnya, permintaan lebih besar ketimbang jumlah logam yang ditemukan. Sejak September, ada sekitar 67 penyelam (penyelam sungguhan atau nelayan yang jadi penyelam) mengaduk-aduk pantai Karangbolong. Tidak kurang dari 50 perahu compreng berkeliaran sekitar 25 meter dari pantai Karangbolong. Jarak dari pelabuhan Cilacap sampai ke tempat "harta karun" itu bersembunyi tak jauh memang. Malah hanya 15 menit saja jika ditempuh dengan perahu motor tempel. Biasanya mereka berangkat jam 03.00 pagi. Tidak semua nelayan mencari secara bersamaan. Beberapa di antara mereka harus berkonsultasi dulu dengan "orang tua" alias dukun. Tiap grup punya konsultan macam ini. Dan dukun inilah yang memberi "jadwal komando" tentang hari dan jam baik untuk berangkat. Peralatan yang mereka pakai cukup sederhana. Sebuah mesin kompresor, masker penyelam, argulator untuk mengatur pernapasan lewat mulut, rantai besi seberat 15 - 25 kg. Yang terakhir ini untuk mempercepat si penyelam sampai ke dasar laut. Juga dibawa slang pernapasan, martil atau linggis. Harga peralatan selam ini berkisar Rp 430 000. Penyelam yang tidak mampu, cukup mengenakan kostum berupa kaus olahraga. Beberapa penyelam alam bahkan tidak memerlukan argulator, asal ia tahu kapan ia seharusnya muncul ke permukaan laut. Tiap kelompok biasanya berjumlah 5 atau 6 orang: dua orang penyelam bekerja bergantian, seorang lain bertugas sebagai penjaga kompresor dan yang lain mengatur perahu, atau menerima isyarat bila penyelam minta tali pengikat logam ditarik. Tapi rezeki toh tidak bisa dipaksa. Jika beruntung, dalam waktu setengah jam sudah memperoleh logam yang dicari. Yang sial nol sampai pulang. Biasanya, kalau seorang penyelam menemukan batangan logam, penyelam lain menyerbu lokasi itu. Panik, gembira dan suasana yang tidak karuan terpusat di lokasi itu. Slang-slang udarapun jadi saling berbelit. Bulan lalu, dua orang tewas. "Karena itu kami kemudian melakukan tindakan larangan," ujar Adpel Cilacap, R. Soeroso Prawirosiswojo.
Lewat Syahbandar telah dikeluarkan larangan menyelam sejak 23 Januari, 1980. "Nelayan kok mau coba-coba jadi penyelam," tambah Soeroso. Masjid Larangan resmi ini ditujukan bagi semua pencari batangan besi tersebut. Soalnya, ada tim penyelam bukan dari Cilacap juga turut campur tangan. Misalnya kelompok yang menamakan diri "ekspedisi Puhara". Puhara adalah singkatan dari "Pemanfaatan Umum & Harta Pusaka Rakyat Indonesia", yang konon mendapat rekomendasi dari Bappeda Jawa Tengah. Setelah mengirim tim peneliti, Puhara mencoba mengumpulkan para penyelam dan nelayan, untuk menentukan bagi hasil. Puhara sendiri mendapat bagian 35%. Niat ini tentu saja ditentang oleh nelayan dan penyelam. Dan ketika Adpel menanyakan surat izin resmi dari Dirjen Perhubungan Laut, orang Puhara ternyata tak punya. Juga ketika alamatnya dicari di Jakarta, ternyata palsu. Tim ekspedisi ini sempat menggunakan nama Sekretariat Negara sebagai backingnya -- tapi sekarang sudah terpaksa angkat kaki dari teluk Cilacap. Minggu lalu, masih ada beberapa penyelam tradisional yang berkeliaran di pantai Karangbolong. "Mereka belum mengcrti pengumuman kami. Juga kami tak bisa menghentikan kegiatan mereka secara tiba-tiba," ujar Soeroso. Selain batangan logam itu, ada keping mata uang VOC bertahun 1790. Sebagian besar pembeli pertama batangan logam itu adalah orang-orang 'nonpri". Logam ini kemudian mereka jual kepada agen-agen yang kabarnya melego lagi ke Jakarta, Yogya atau Surabaya. Konon oleh pabrik pelebur logam, batangan logam dari Karangbolong ini disebut "babet", bahan pelapis metal mesin kendaraan. Ah Hok, salah seorang pembeli, mengaku bahwa dari setiap batang ia bisa menarik keuntungan sekitar Rp 10.000 - Rp 15.000. Djapar Bugis sendiri cukup bersyukur akan rahmat Tuhan. Sejak Juli tahun lalu hingga pertengahan Februari 1980 ia berhasil mendapat 110 batang logam. "Saya tidak mengerti logam apa ini dan mengapa harganya jadi naik cepat," ujarnya. Pembeli selalu memburunya. Bahkan sering, belum sampai di rumah, ia sudah dihadang pembeli menyodorkan tumpukan uang di bawah hidungnya. Kini Djapar Bugis sudah memiliki 3 buah perahu bermotor tempel. Juga dua set alat penyelam yang harganya sekitar satu juta rupiah. Rumahnya yang gubuk kini telah didandaninya dengan ongkos Rp 4 juta. Semua itu ia dapat dari penjualan batang-batang logam tadi. Bukan hanya itu. Rezekinya itu ia sisihkan untuk memberi sumbangan sebesar Rp 360 ribu pada beberapa masjid di Cilacap, Bandung, Pangandaran, Kebumen dan Gombong. Katanya sambil tertawa "Ya, hitung-hitung buat tabungan di akhirat nanti."
Sumber : Tempo Online (23 Februari 1980)