Ilustrasi
serangan Jepang di Selat Nusakambangan
Pada tanggal 5 Maret 1942 Jepang menyerang kapal-kapal Sekutu yang
melarikan diri dari Cilacap atau Tjilatjap. Sebelum Jepang menyerbu Asia,
persiapan telah dilakukan setidaknya 10 tahun sebelumnya. Banyak
pedagang-pedagang Jepang yang datang ke Hindia Belanda sebagai penjual
bermacam-macam barang kelontong, hasil bumi, dan berbagai pekerjaan sebagai
penyamaran. Tugas yang sebenarnya adalah menyebarkan pengaruh nagaranya kepada
penggiat kemerdekaan bangsa-bangsa Asia yang terjajah agar membantunya,
termasuk bangsa terjajah Hindia Belanda. "Asia untuk Bangsa Asia",
"Bangsa Jepang adalah Saudara Tua bagi Bangsa Asia" dan lain
sebagainya adalah slogan yang sering didengungkan. Pedagang-pedagang itu adalah
intel sosial-ekonomi-politik.
Kontra intelijen Belanda IVG (Inlichtingen en Veiligheidsgroup) tidak mendapati bukti-bukti yang berbahaya dari kegiatan para pedagang tersebut. Beberapa tahun kemudian waktu tentara Jepang mendarat di Hindia Belanda barulah hasil karya mereka itu tampak: Tentara Jepang dielu-elukan seperti layaknya tentara pembebas dari penjajahan. Beberapa tahun kemudian menyerbulah intel militer yang tugasnya berbeda dengan intel sosial-ekonomi-politik.
Setahun menjelang penyerbuan Jepang intel militer di Cilacap mendapat kiriman radio pemancar dan penerima jinjing yang diselundupkan sebagai suku cadang yang terpisah-pisah. dan dikirimkan melalui cara estafet dan rahasia.
Sementara itu denah pandangan udara Selat Nusakambangan dan pelabuhan Cilacap telah diketahui oleh penerbang-penerbang AL Jepang. Para penerbang Jepang tahu bahwa kapal-kapal Sekutu yang akan melarikan diri dari Cilacap membawa pejabat sipil dan militer Belanda dan ABDACOM (America-British-Dutch-Australia Command) akan harus berlayar ke arah timur dari selat yang amat sempit. Pesawat dengan jangkauan terbang 1800 km dengan kecepatan 400 km/jam yang merupakan kekuatan utama Jepang dalam menyerang Pearl Harbor pada Desember 1941 telah disiapkan. Pesawat buatan Mitsubishi Aichi D3A1 yang oleh Sekutu dijuluki Val dapat menyerang Cilacap dalam waktu 1/2 jam sejak perintah dikeluarkan.
ABDACOM telah menberi tahu para kapten kapal agar bila kapal mendapat kerusakan harus diusahakan menepi kearah pantai Cilacap agar mudah mendapat pertolongan dan agar selat yang sempit itu tidak terganggu oleh kapal yang rusak. Dengan demikian pengungsian berikutnya dapat terus dijalankan.
Ilustrasi kapal Sekutu yang rusak akibat
serangan Jepang
Pada bulan Februari 1942, kota yang biasanya sangat sepi itu
kedatangan para pejabat sipil dan militer dari ABDACOM yang merencanakan akan
mengungsi. Para atasan menginap di Hotel Bellevue (sekarang Hotel Wijaya
Kusuma) sedang bawahan di gedung-gedung sekolah, gereja dan bangunan besar
lainnya serta tenda-tenda dilapangan. Pada tanggal 4 dan 5 Maret 1942 di pelabuhan
Cilacap diberangkankan konvoi kapal-kapal pengangkut pengungsi dan bala tentara
ABDACOM yang dikawal oleh kapal perang. Intel militer Jepang segera mengabarkan
kepada kontak mereka melalui radio pemancar. Setengah jam kemudian 20 pesawat
pembom penerjun (dive bombers) berawak dua dalam formasi tiga-tiga
menyerang konvoi itu. Nelayan Cilacap yang pulang dari melaut terkejut,
ketakutan dan takjub menyaksikan dan mendengar ledakan-ledakan terpedo mengenai
kapal-kapal Sekutu. Nelayan Cilacap merasakan seakan berada ditengah
pertempuran antara dua makhluk angkasa luar yang persenjataannya diluar
jangkauan manusia pribumi Hindia Belanda (Gambar 1, cat air oleh S. Angudi). Tak lama kemudian pelabuhan Cilacap di bom oleh pembom tinggi (high
altitude bombers) Mitshbishi G3M yang oleh Sekutu dinamai Nell yaitu
jenis pesawat yang telah menenggelamkan HMS Prince of Wales dan HMS Repulse.
Tiga hari kemudian pemerintah Hindia Belamda menyerah tanpa syarat kepada
Jepang. Allah S.W.T. mengatur kebangkitan dan kehancuran di antara bangsa-bangsa
manusia. Tanda-tanda awal bangkrutnya penjajahan Belanda di Indonesia mulai samar-samar
nampak. Para anggota gerakan nasionalis berpikir bagaimana menindak lanjuti keadaan
itu. Sepuluh tahun kemudian ketika saya ke Kali Yasa untuk mengail, bangkai-bangkai
kapal perang dan kapal penumpang Sekutu masih berserakan di Selat Nusakambangan
(Gambar 2, cat air
oleh S. Angudi).***
Sumber : Riwayat Perang di Jawa/ Sardjono Angudi (jongki.angudi@gmail.com)
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusSalam.. Boleh tau bapak, sumber buku yg digunakan judulnya apa.? Terimakasih..
BalasHapus